PENGAYAAN MATERI
Kerajaan Bercorak Hindu-Buddha di Indonesia
Kutai dan Tarumanegara
Kerajaan Kutai yang terletak di Kalimantan Timur sampai saat ini
dianggap sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Penemuan bukti berupa 7 buah
prasasti berbentuk yūpa, yaitu tugu
peringatan bagi sebuah upacara kurban. Prasasti ini berhuruf pallawa yang
menurut bentuk dan jenisnya berasal dari abad IV M, sedangkan bahasanya adalah
sansekerta yang tersusun dalam bentuk syair. Semuanya dikeluarkan atas titah
seorang raja bernama Mūlawarmman.
Berdasarkan isi dari prasasti tersebut dapat diketahui silsilah
raja-raja Kutai. Dimulai dengan raja Kunduńga yang mempunyai anak bernama Aśwawarman, dan Mūlawarmman
adalah seorang dari ketiga anaknya. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa pendiri
keluarga kerajaan (vańśakrttā) adalah Aśwawarman, dan bukan Kundunga
yang dianggap sebagai raja pertama. Kunduńga
bukan nama sansekerta, mungkin ia seorang kepala suku penduduk asli yang belum
terpengaruh kebudayaan India, sedangkan Aśwawarman adalah nama yang berbau
India. Disebut pula nama Ańsuman
yaitu dewa matahari di dalam agama Hindu yang dapat menunjukkan bahwa
Mūlawarmman adalah penganut agama Hindu (Sumadio, 1993). Prasasti ini juga memberikan informasi mengenai kehidupan masyarakat
ketika itu, dimana sebagian penduduk hidup dalam suasana peradaban India. Sudah
ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa Sansekerta yaitu kaum Brahmana
(pendeta) yang mempunyai peran penting dalam memimpin upacara keagamaan. Setiap
yūpa yang didirikan oleh Mūlawarmman
sebagai peringatan bahwa ia telah memberikan korban besar-besaran dan
hadiah-hadiah untuk kemakmuran negara dan rakyatnya. Sedangkan golongan lainnya
adalah kaum ksatria yang terdiri atas kaum kerabat Mūlawarmman. Diluar kedua
golongan ini adalah rakyat Kutai pada umumnya yang terdiri atas penduduk
setempat, dan masih memegang teguh agama asli leluhur mereka.
Kerajaan Tārumanāgara berkembang kira-kira bersamaan dengan kerajaan
Kutai pada abad 5 M, dan berlokasi di Jawa Barat dengan rajanya
bernama Pūrņawarman. Keberadaan kerajaan Tārumanāgara dapat diketahui melalui 7
buah prasasti batu yang ditemukan di daerah Bogor, Jakarta, dan Banten.
Prasasti tersebut adalah prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Tugu, Pasir
Awi, Muara Cianten, dan Lebak. Prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa dan
berbahasa Sansekerta yang digubah dalam bentuk syair. Agama yang melatari alam pikiran raja adalah agama Hindu. Hal ini dapat
diketahui karena pada prasasti Ciaruteun terdapat lukisan 2 tapak kaki raja
yang diterangkan seperti tapak kaki Wisnu. Pada prasasti Kebon Kopi ada gambar
tapak kaki gajah sang raja yang disamakan sebagai tapak kaki gajah Airawata.
Pada prasasti Tugu disebutkan penggalian 2 sungai terkenal di Punjab yaitu
Candrabhaga dan Gomati. Maksud pembuatan saluran pada sungai ini diperkirakan
ada hubungannya dengan usaha mengatasi banjir (Poerbatjaraka, 1952). Dalam
prasasti Jambu dijumpai nama negara Tarumayam dan sungai Utsadana. Negara
Tarumayam disamakan dengan Tarumanagara, sedangkan Utsadana identik dengan
sungai Cisadane. Pada prasasti ini, Pūrņawarman disamakan dengan Indra sebagai
dewa perang serta memiliki sifat sebagai dewa matahari.
Selain 7 prasasti tersebut, di daerah ini juga ditemukan arca-arca
rajasi dan disebutkan dalam prasasti Tugu serta memperlihatkan sifat
Wisnu-Surya. Akan tetapi Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut adalah
arca Siwa. Sedangkan arca Wisnu Cibuaya diduga mempunyai persamaan dengan
langgam seni Palla di India Selatan dari abad 6-7 M.
Dari bukti tersebut dapat dikatakan bahwa Jawa Barat telah menjadi
pusat seni dan agama, dan sesuai pula denganberita Cina yang mengatakan bahwa
pada abad 7 M terdapat negara bernama To-lo-mo yang berarti
Taruma. Dari peninggalan ini pila dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh
para penguasa setempat adalah agama Hindu aliran Wisnu. Bahkan raja dianggap
sebagai titisan dewa Wisnu yang memelihara kehidupan rakyat agar makmur dan
tenteram. Pembuatan dan penggalian 2 sungai untuk menahan banjir dan saluran
irigasi menunjukkan bahwa masa itu sudah mengenal tatanan masyarakat agraris.
Kutai sebagai
Kerajaan Hindu pertama di Indonesia, yang dibangun dengan kerja keras
dan kreatif. Kutai merupakan kerajaan bercorak Hindu, sehingga nilai-nilai
religius tertanam dalam masyarakat saat itu. Berdasar prasasti, kita bisa
melihat kebesaran Kerajaan Kutai. Sudah selayaknya, kita menghargai prestasi
pendiri Kutai.
Begitupula dengan
sejarah Kerajaan Tarumanegara yang muncul sebagai Kerajaan Budha pada awal-awal
perkembangan agama Buddha di Jawa, kebesaran dan bukti-bukti peninggalan yang
ada sampai sekarang patut menjadi contoh dan kebanggan tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Dalam prosesnya, Tarumanegara yang akhirnya berkembang menjadi
wilayah yang sampai sekarang menjadi wilayah dan peranan penting dalam konteks
Indonesia modern selayaknya mampu kita jadikan kebanggan. Bangga akan kebesaran
kebudayaan Hindu-Buddha awal yang pernah berkembang di Indonesia diharapkan
mampu membangkitkan jiwa nasionalisme yang tinggi dari masyarakat Indonesia.
Śrīwijaya
Kerajaan Śrīwijaya merupakan sebuah kerajaan di Sumatra yang
sudah dikenal pada abad VII M. Bukti keberadaan kerajaan Śrīwijaya adalah 6 prasasti yang ditemukan tersebar di Sumatra
Selatan dan pulau Bangka. Prasasti tertua ditemukan di Kedukan Bukit
(Palembang) berangka tahun 604 S (682 M) serta berhuruf pallawa dan berbahasa
melayu kuno. Menurut Krom, prasasti ini dimaksudkan untuk memperingati
pembentukan negara Śrīwijaya. Namun Moens berpendapat lain bahwa prasasti
ini untuk memperingati kemenangan Śrīwijayaterhadap
Malayu. Sementara Coedes (1964) menduga prasasti ini untuk memperingati
ekspedisi Śrīwijaya ke daerah seberang laut yakni kerajaan Kamboja
yang diperintah oleh Jayawarman. Sedangkan Boechari (1979) berpendapat bahwa
prasasti ini untuk memperingati usaha penaklukan daerah sekitar Palembang oleh
Dapunta Hyaŋ dan pendirian ibukota baru atau ibukota kedua di tempat ini.
Prasasti lain yang penting adalah Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di
Pulau Bangka dan berangka tahun 608 S (686 M). Kata Śrīwijaya dijumpai pertama kali di dalam prasasti ini.
Keterangan yang penting adalah mengenai usaha Śrīwijaya untuk menaklukkan bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada Śrīwijaya. Coedes berpendapat bahwa pada saat prasasti ini
dibuat, tentara Śrīwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan
Jawa yaitu kerajaan Tāruma. Prasasti lain yang ditemukan di Palembang adalah
prasasti Talang Tuo dan Telaga Batu. Sementara di Jambi ditemukan prasasti
Karang Brahi dan di Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah. Prasasti ini pada
umumnya dipandang sebagai pernyataan kekuasaan Śrīwijaya.
Satu hal yang menjadi perdebatan bagi para ahli adalah lokasi
Sriwijaya. Berdasarkan prasasti dan berita Cina, Coedes berpendapat bahwa
Palembang adalah lokasi . Pendapat ini mendapat dukungan dari Nilakanta Sastri,
Poerbatjaraka, Slamet Mulyana, Wolters, dan Bronson. Namun Bosch dan Majumdar
berpendapat bahwa Śrīwijaya harus dicari di pulau Jawa atau di daerah
Ligor. Sementara Quaritch Wales dan Rajani
menempatkan Śrīwijaya di Chaiya atau Perak. Berdasarkan rekonstruksi peta, berita Cina dan
Arab, Moens sampai pada kesimpulan bahwa Śrīwijaya mula-mula berpusat di Kedah kemudian
berpindah ke Muara Takus. Selanjutnya Soekmono melalui penelitian geomorfologi
berkesimpulan bahwa Jambi sebagai pusat lokasi Śrīwijaya. Sedangkan
Boechari berpendapat bahwa sebelum tahun 682 M ibukota Śrīwijaya ada
di daerah Batang Kuantan, setelah tahun 682 M
berpindah ke Mukha Upang di
daerah Palembang (Sumadio, 1994).
Dari peningggalan
prasasti dan berita Cina dapat diketahui kebijakan penguasa Śrīwijaya.
Kerajaan Śrīwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang besar dan terlibat dalam perdagangan
internasional. Śrīwijaya lebih mengembangkan suatu tradisi diplomasi
dan kekuatan militer untuk melakukan gerakan ekspedisioner. Disamping
prasati-prasasti yang berisi pujian kepada dewa-dewa dan pelaksanaan suatu
keputusan raja, sejumlah prasasti menunjukkan pada birokrasi dan berbagai
aturan untuk menjamin ketenangan dalam negeri. Hubungan antara Śrīwijaya dengan negeri di luar Indonesia bukan hanya dengan
Cina tapi juga dengan India. Sebuah prasasti raja Dewapaladewā dari Benggala
(India) pada abad IX M menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda
oleh raja Balaputradewā, raja Śrīwijaya yang menganut agama Buddha. Hal ini didukung berita
dari I-tsing yang mengatakan bahwa Śrīwijaya adalah pusat
kegiatan agama Buddha.
Sriwijaya merupakan
kerajaan besar yang bercorak Budha (religius). Munculnya kerajaan Budha di
Indonesia, menunjukkan bahwa telah ada toleransi beragama sejak jaman dahulu.
Kerajaan Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan sebagai wujud adanya cinta
damai.
Mataram Hindu
Kerajaan Mataram dikenal dari prasasti Canggal yang berasal dari
halaman percandian di Gunung Wukir Magelang. Prasasti ini berhuruf pallawa dan
berbahasa sansekerta, serta berangka tahun 654 S (732 M). Isinya adalah
memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwā) oleh raja Sanjaya diatas
bukit Kunjarākunjā di pulau Yawadwipā yang kaya akan hasil bumi.
Yawadwipa
mula-mula diperintah oleh raja Sanna yang bijaksana. Pengganti Sanna yaitu raja
Sanjaya, anak Sannaha, saudara perempuan raja Sanna. Ia adalah seorang raja
gagah berani yang telah menaklukkan raja-raja di sekelilingnya dan raja yang
ahli dalam kitab-kitab suci.
Mendirikan lingga
adalah lambing mendirikan atau membangun kembali suatu kerajaan. Sanjaya memang
dianggap Wamçakarta kerajaan Mataram. Hal ini juga terlihat dari
prasasti para raja yang menggantikannya, misal prasasti dari Balitung yang
memuat silsilah yang berpangkal dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Bahkan
ada pula prasasti yang menggunakan tarikh Sanjaya.
Kecuali prasasti
Canggal tidak ada prasasti lain dari Sanjaya, yang ada ialah prasasti-prasasti
dari keluarga raja lain yaitu Syailendrawangsa. Istilah Syailendrawangsa dijumpai pertama kali
di dalam prasasti Kalasan tahun 700 S (778 M). Prasasti ini ditulis dengan
huruf pra-nagari dan berbahasa sansekerta. Isinya adalah pendirian bangunan
suci bagi Dewi Tarā dan sebua biara bagi para pendeta oleh Maharaja Tejahpurna
Panaŋkaran. Bangunan tersebut adalah Candi Kalasan di Yogyakarta. Rupa-rupanya
keluarga Sanjaya ini terdesak oleh para Syailendra, tetapi masih mempunyai
kekuasaan di sebagian Jawa Tengah. Meskipun demikian masih ada kerjasama antara
keluarga Sanjaya dan Syailendra (Sumadio, 1994).
Tejahpurna Panaŋkaran adalah Rakai Panaŋkaran, pengganti Sanjaya,
seperti nyata dari prasasti Mantiyasih yang dikeluarkan raja Balitung tahun 907
M. Prasasti ini bahkan memuat silsilah raja-raja yang mendahului Balitung yang
bunyinya sebagai berikut :
Rahyangta rumuhun ri Mdang ri Poh Pitu,
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
Çri Maharaja Rakai Panangkaran,
Çri Maharaja Rakai Panunggalan,
Çri Maharaja Rakai Warak,
Çri Maharaja Rakai Garung,
Çri Maharaja Rakai Pikatan,
Çri Maharaja Rakai Kayuwangi,
Çri Maharaja Rakai Watuhumalang,
Çri Maharaja Rakai Watukuro Dyah Balitung Dharmodaya Mahaçambu.
Pada pertengahan abad IX kedua wangsa ini bersatu melalui perkawinan
Rakai Pikatan dan Pramodawardani, raja puteri dari keluarga Syailendra. Dalam
masa pemerintahan Syailendra banyak bangunan suci didirikan untuk memuliakan
agama Buddha, antara lain candi Kalasan, Sewu, dan Borobudur. Rakai Pikatan
dari wangsa Sanjaya telah pula mendirikan bangunan suci agama Hindu seperti
candi Loro Jonggrang di Prambanan.
Mengenai wangsa raja-raja yang berkuasa di kerajaan Mataram ini
terdapat dua pendapat yang berbeda. Casparis (1956) berpendapat bahwa sejak
pertengahan abad VIII ada 2 wangsa raja yang berkuasa yaitu wangsa Sanjaya yang
beragama Siwa dan para pendatang baru dari Funan yang menamakan dirinya wangsa
Syailendra yang beragama Buddha Mahayana. Pendapat Casparis tersebut ditentang
oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka (1956), hanya ada satu wangsa saja
yaitu wangsa Syailendra yang merupakan orang Indonesia asli dan
anggota-anggotanya semula menganut agama Siwa, tetapi sejak pemerintahan Rakai
Panangkaran menjadi penganut agama Buddha Mahayana, untuk kemudian pindah lagi
menjadi penganut agama Siwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan.
Pengganti Pikatan adalah Rakai Kayuwangi yang memerintah tahun 856-886
M. Pengganti Kayuwangi adalah Watuhumalang yang memerintah tahun 886-898 M.
Kemudian menyusullah raja Balitung (Rakai Watukura) yang memerintah tahun
898-910 M. Prasastinya terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga dapat
disimpulkan ia adalah raja pertama yang memerintah kedua bagian pulau Jawa itu,
mungkin kerajaan Kanjuruhan di Jawa Timur telah ia taklukkan, mengingat ia
dalam pemerintahan di Jawa Tengah ada sebutan Rakryan Kanuruhan yaitu salah
satu jabatan tinggi langsung di bawah raja.
Raja-raja sesudah
Balitung adalah Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), kemudian Wawa (924-929
M). Sejak 929 M prasasti hanya didapatkan di Jawa Timur dan yang memerintah
adalah seorang raja dari keluarga lain yaitu Sindok dari Isanawangsa.
Sindok dianggap
sebagai pendiri dinasti baru di Jawa Timur yaitu Isanawangsa. Istilah wangsa
Isana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 963 S (1041 M) yang menyebut gelar
Sindok yaitu Sri Isanatungga. Rupanya kerajaan yang baru itu tetap bernama
Mataram, sebagaimana tertera dalam prasasti Paradah 865 S (943 M) dan prasasti
Anjukladang 859 S (937 M).
Pu Sindok memerintah mulai tahun 929-948 M. Ia
meninggalkan banyak prasasti yang sebagian besar berisi penetapan Sima. Dari
prasasti tersebut dapat diketahui bahwa agama Sindok adalah Hindu. Selama
Sindok berkuasa terhimpun pula sebuah kitab suci agama Buddha yaitu Sang Hyang
Kamahayanikan yang menguraikan ajaran dan ibadah agama Buddha-Tantrayana.
Pengganti-pengganti Sindok dapat diketahui pula
dari prasati Pucangan yang dikeluarkan Airlangga. Demikianlah Sindok digantikan
anak perempuannya Sri Isana Tunggawijaya yang bersuamikan raja Sri Lokapala.
Mereka berputra Sri Makutawangsawarddhana. Mengenai kedua raja pengganti Sindok
tak ada suatu keterangan lain lagi, kecuali bahwa Makutawangsawarddhana
mempunyai seorang anak perempuan bernama Gunapriyadharmmapatni atau
Mahendradatta yang kawin dengan Udayana dari keluarga Warmadewa dan memerintah
di Bali. Mereka mempunyai anak bernama Airlangga.
Pengganti Makutawangsawarddhana adalah Sri
Dhammawangsa Teguh Anantawikrama. Kemungkinan besar ia adalah anak
Makutawangsawarddhana, jadi saudara Mahendradatta yang menggantikan ayahnya
duduk di atas tahta kerajaan Mataram. Dalam masa pemerintahan Dharmawangsa,
kitab Mahabharata disadur dalam bahasa Jawa Kuno. Sementara itu dalam bidang
politik, Dharmawangsa berusaha keras untuk menundukkan Sriwijaya yang saat ini
merupakan saingan berat karena menguasai jalur laut India-Indonesia-Cina.
Politik DharmawangsaTeguh berambisi meluaskan
kekuasaannya ternyata mengalami keruntuhan. Prasasti Pucangan memberitakan
tentang keruntuhan itu. Disebutkan bahwa tak lama sesudah perkawinan Airlangga
denga putri Teguh, kerajaan ini mengalami pralaya pada tahun 939 S (1017 M),
yaitu pada waktu raja Wurawari menyerang dari Lwaram. Banyak pembesar yang
meninggal termasuk Dharmawangsa Teguh.
Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa
Dharmawangsa Airlangga dapat menyelamatkan diri dari serangan Haji Wurawari,
dan masuk hutan hanya diikuti abdinya yang bernama Narottama. Selama di hutan
Airlangga tetap melakukan pemujaan terhadap dewa-dewanya. Maka pada tahun 941 S
(1019 M) ia direstui para pendeta Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana sebagai raja
dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa (Soekmono, 1973).
Pada masa pemerintahannya, raja Airlangga telah
banyak mengeluarkan prasasti. Hal ini dikarenakan raja ini memerlukan
pengesahan atau legitimasi atas kekuasaannya dengan menciptakan leluhur (wangsakara).
Salah satu prasasti yang penting adalah prasasti
Pucangan atau Calcutta. Prasasti ini dikeluarkan airlangga pada tahun 963 S
(1041 M). prasasti ini memuat silsilah raja Airlangga yang dimulai dari raja
Sri Isana Tungga atau Pu Sindok. Dengan silsilah ini, Airlangga ingin
memperkokoh dan melegitimasi kedudukannya sebagai pewaris sah atas tahta
kerajaan Dharmmawangsa Teguh dan benar-benar masih keturunan Pu Sindok.
Sebagaian
besar masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukkan
kembali raja-raja bawahannya, antara lain menyerang Haji Wengker, Haji
Wurawari, dan raja Hasin. Di bidang karya sastra, pada masa ini telah
dihasilkan kitab Arjunawiwaha yang merupakan gubahan Pu Kanwa.
Pada
masa pemerintahan Airlangga, yang menjabat kedudukan Rakryan Mahamantri I
Hino (putra mahkota kerajaan) adalah seorang putrid bernama Sri Sanggrama
Wijaya Dharmmaprasadottunggadewi, seperti disebutkan dalam prasasti Cane,
Munggut, dan Kamalagyan. Akan tetapi dalam prasasti pucangan dan Pandan, yang
menjabat Hino adalah seorang laki-laki bernama Sri Samarawijaya
Dhamasuparnnawahana Tguh Uttunggadewa, anak laki-laki Dharmmawangsa Teguh yang
selamat dari pralaya menuntut haknya atas tahta kerajaan Mataram. Selanjutnya
Sanggramawijaya lebih memilih kehidupan sebagai pertapa di Kambang Sri karena
tidak menginginkan adanya perebutan kekuasaan yang mengarah pada perpecahan.
Diperkirakan ada adik Sanggramawijaya yang tidak dapat menerima keputusan itu
lalu bermaksud merebut kekuasaan.
Untuk menghindari perang saudara maka Airlangga terpaksa membagi
kerajaan menjadi dua. Samarawijaya sebagai pewaris yang sah karena ia anak
Dharmmawangsa Teguh mendapatkan kerajaan Pangjalu dengan ibukota yang lama
yaitu Dahana Pura. Sedangkan anak Airlangga sendiri entah Sanggramawijaya entah
adiknya mendapat bagian kerajaan Janggala yang beribukota di Kahuripan.
Kerajaan Mataram
mempunyai peningggalan bangunan sejarah yang spektakuler yaitu Borobudur dan
Prambanan. Kita selayaknya menghargai prestasi, kerja keras dan kreatifitas
dari nenek moyang kita. Kedua candi tersebut juga sebagai perwujudan nilai
religius dan toleransi yang dikembangkan di Mataram. Antara kerajaan bercorak
Hindu dan Buddha dapat berdampingan dan mengembangkan semangat cinta damai.
Kadiri dan Jenggala
Berdasarkan pembagian kerajaan tersebut, selanjutnya Boechari (1968)
menyebut bahwa raja pertama Pangjalu yang berkedudukan di Daha adalah
Sanggramawijaya yang kemudian diambil alih oleh Samarawijaya. Sedangkan
kerajaan Janggala yang berkedudukan di Kahuripan rajanya bernama Mapanji
Garasakan, yang tidak lain adalah anak Airlangga, adik Sanggramawijaya.
Garasakan kemudian digantikan oleh Alanjung Ahyes, selanjutnya digantikan oleh Samarotsaha.
Tampaknya setelah 3 orang raja Janggala tersebut di atas dan setelah
ada masa gelap selama kira-kira 60 tahun, yang muncul dalam sejarah adalah
kerajaan Kadiri dengan ibukotanya di Daha. Hal ini dapat dibuktikan dari
beberapa temuan prasasti batu yang sebagian besar ada di daerah Kediri.
Prasasti yang pertama adalah Prasasti Pandlegan tahun 1038 S (1117 M) yang
dikeluarkan oleh raja Sri Bameswara. Prasasti ini berisi tentang anugerah raja
Bameswara kepada penduduk desa Pandlegan (Boechari, 1968). Prasasti lain yang dikeluarkan Bameswara adalah prasasti Panumbangan
(1042 S), Geneng (1050 S), Candi (1051 S), Besole (1051 S), Tangkilan (1052 S),
dan Pagilitan (1056 S). Berdasarkan data prasasti yang ada dapat diketahui
bahwa raja Bameswara memerintah antara tahun 1038-1056 S.
Setelah
pemerintahan raja Bameswara, muncul raja lain bernama Jayabaya. Hanya 3
prasasti yang telah ditemukan dari raja ini yaitu prasasti Hantang (1057 S),
Talang (1058 S), dan Jepun (1066 S) yang berisi tentang penetapan Sima. Cap
kerajaannya berupa Narasingha. Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah
kakawin Bhatarayuddha pada tahun 1079 S (1157 M) oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh.
Raja berikutnya
adalah Sri Sarweswara. Dua prasastinya adalah prasasti Pandlegan II (1081 S)
dan Kahyunan (1082 S). pada tahun 1169 M muncul raja Sri Aryyswara. Hanya dua
prasasti yang ditemukan dari raja ini yaitu prasast Waleri (1091 S) dan
prasasti Angin (1093 S). cap kerajaannya berupa Ganesa. Raja selanjutnya adalah
Sri Kroncaryyadipa. Satu-satunya prasasti yang ditemukan adalah prasasti Jaring
atau Gurit (1103 S). raja ini hanya memerintah kerajaan Kadiri selama 4 tahun
(1181-1184 M). kemudian dijumpai nama raja Kameswara yang memerintah Kadiri
antara tahun 1184-1194 M. Ada dua prasasti dari raja ini yaitu prasasti
Semanding (1104 S) dan Ceker (1107 S). Pada masa pemerintahan Kameswara,
seorang pujangga bernama Mpu Darmaja berhasil menggubah kitab Smaradhahana.
Raja Kadiri yang
terakhir adalah Srengga atau Krtajaya. Raja ini memerintah antara tahun
1194-1222 M. Ada 6 prasasti dar raja ini yaitu prasasti Kemulan (1116 S), Palah
(1119 S), Galunggung (1122 S), Biri (1124 S), Sumber Ringin Kidul (1126 S), dan
Lawadan (1127 S). Lencana kerajaan Kadiri yang dipakai Krtajaya adalah
Srenggalanchana.
Masa akhir kerajaan Kadiri dapat diketahui dari beberapa sumber
tertulis. Kerajaan Kadiri runtuh pada tahun 1144 S (1222 M). Menurut
Nagarakretagama (XL:3-4) Sri Ranggah Rajasa yang bertahta di Kutaraja, ibukota
kerajaan Tumapel pada tahun 1144 S menyerang raja Kadiri yaitu raja Sri
Krtajaya. Krtajaya kalah, kerajaan dihancurkan, dan ia melarikan diri ke gunung
yang sunyi. Sedangkan menurut Pararaton, raja Kadiri bernama Dandang Gendis
minta kepada para bhujangga Siwa dan Buddha supaya menyembah kepadanya. Para
bhujangga menolak lalu melarikan diri ke Tumapel berlindung pada Ken Angrok.
Para bhujangga merestui Ken Angrok sebagai raja di Tumapel, kerajaannya
bernama Singhasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.
Lalu ia menyerang Daha (Kadiri), dan raja Dandang Gendis dapat dikalahkan.
Dalam Nagarakretagama (XLIV:2) disebutkan pula dengan ditaklukkannya
Daha tahun 1222 M oleh Ken Angrok dari Tumapel, maka bersatulah Janggala dan
Kadiri sama-sama beraja di Tumapel (Singhasari). Kadiri tidak dihancurkan,
tetapi tetap diperintah oleh keturunan raja Krtajaya dengan mengakui
kepemimpinan Singhasari. Sejak tahun 1271 M Jayakatwang salah seorang keturunan
Krtajaya memerintah di Glang-Glang.
Perkembangan
sastra dan berbagai peninggalan budaya sejak masa Kerajaan Kadhiri menunjukkan
kreatifitas bangsa Indonesia. sikap yang mampu kita kembangkan sampai saat ini,
bahwa kerja keras dan kreatifitas bisa menghasilkan sebuah pertahanan hidup.
Singhasari
Pada masa akhir kerajaan Kadiri, daerah Tumapel merupakan suatu daerah
yang dikepalai oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Daerah
Tumapel ini termasuk dalam daerah kekuasaan raja Krtajaya (Dandang Gendis) dari
Daha (Kadiri). Kedudukan Tunggul Ametung menjadi akuwu Tumapel berakhir
setelah dibunuh oleh Ken Angrok, dan jandanya yang bernama Kendedes
dikawininya. Ken Angrok kemudian menjadi penguasa baru di Tumapel. Ken Angrok
pula yang kemudian menaklukkan Dandang Gendis dari Kadiri, dan kemudian menjadi
Maharaja di Singhasari.
Munculnya tokoh Ken Angrok ini kemudian menandai lahirnya wangsa baru
yaitu Rajasawangsa atau Girindrawangsa. Wangsa inilah yang berkuasa di
Singhasari dan Majapahit. Ken Angrok memerintah Singhasar sejak 1222-1227 M dan
tetap berkedudukan di Tumapel atau secara resmi disebut Kutaraja. Pemerintahan
Rajasa berlangsung aman dan tentram.
Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Angrok memperoleh 4 orang
anak, yaitu Mahesa Wonga Teleng, Panji Anabrang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu.
Dari istrinya yang lain yaitu Ken Umang, Ken Angrok mempunyai 4 orang anak
yaitu Tohjoyo, Sudahtu, Wregola, dan Dewi Rambi. Pada tahu 1227 M Ken Angrok
dibunuh oleh seorang pengalasan dari Batil atas suruhan Anusapati, anak
tirinya sebagai balas dendam terhadap pembunuhan ayahnya Tunggul Ametung. Dari
kitab Pararaton diketahui bahwa Anusapati bukanlah bukanlah anak dari Ken Dedes
dan Ken Angrok, tatapi anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken Angrok kemudian
dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa. (Nagarakretagama, XXXVI:1-2) dan di
Usana sebagai Buddha (Sumadio, 1994).
Sepeninggal Ken Angrok, Anusapati menjadi raja. Ia memerintah tahun
1227-1248 M. Selama masa pemerintahannya itu tidak banyak yang diketahui.
Tetapi juga Tohjaya hendak pula membalas dendam atas pembunuhan ayahnya, Ken
Angrok oleh Anusapati. Akhirnya pada tahun 1248 Anusapati dapat dibunuh oleh
Tohjaya. Anusapati kemudian didharmakan di candi Kidal.
Dengan meninggalnya Anusapati, Tohjaya kemudian menggantikannya menjadi
raja. Tohjaya hanya memerintah selama beberapa bulan dalam tahun 1248. Pada
masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang
Rajasa dan Sinelir. Dalam penyerbuan itu Tohjaya luka parah dan diungsikan ke
Katang Lumbang. Akhirnya ia meninggal dan dicandikan di Katang Lumbang.
Sepeninggal Tohjaya, pada tahun 1248 Ranggawuni dinobatkan menjadi raja
dengan gelar Sri Jayawisnuwardana. Dalam menjalankan pemerintahannya ia
didampingi oleh Mahisa Campaka, anak Mahisa Wonga Teleng. Kedua orang itu
memerintah bersama bagai Wisnu dan Indra atau bagaikan dua naga dalam satu
liang. Pada tahun 1255 M Wisnuwarddhana mengeluarkan sebuah prasasti untuk
mengukuhkan desa Mula dan Malurung menjadi Sima. Di dalam prasasti tersebut ia
disebut dengan nama Narayya Smining Rat. Sebelumnya, dalam tahun 1254
Wisnuwarddhana menobatkan anaknya Kertanagara sebagia raja, tetapi ia sendiri
tidak turun tahta tetapi memerintah terus untuk anaknya. Menurut Kakawin
Nagarakertagama (LXXIII:3) Wisnuwarddana meninggal pada tahun 1268, serta
dicandikan di Weleri sebagai Siwa dan di Jajaghu sebagai Buddha.
Sebelum tahun 1268, Kertanagara belum memerintah sendiri sebagai raja
Singhasari Pada waktu itu ia masih memerintah di bawah bimbingan ayahnya, Raja
Wisnuwarddhana sebagai rajamuda (Rajakumara)
di Daha. Setelah memerintah, raja Kertanagara adalah seorang raja Singhasari
yang sangat terkenal. Dalam bidang politik ia terkenal sebagai seorang raja
yang mempunyai gagasan perluasan Cakrawala Mandala ke luar pulau Jawa. Di
bidang keagamaan ia dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha Tantrayana.
Selama masa pemerintahannya, seluruh pulau Jawa tunduk dibawah kekuasan
raja Kertanagara. Bahkan pada tahun 1275 Kertanagara mengirim ekspedisi untuk
menaklukan Malayu. Namun demikian raja Kertanagara juga menjaga hubungan
politik yang baik dengan wilayah yang lain. Ia menjaga hubungan politik dengan
Jayakatwang yaitu dengan jalan mengambil anaknya yang bernama Arddharaja
sebagai menantunya dan memberikan anaknya yang bernama Turukbali menjadi istri
raja Jayakatwang yang sebenarnya bertekad akan membalas dendam kematian
leluhurnya oleh leluhur raja Kertanagara.
Menurut Pararaton bahwa dalam usaha meruntuhkan Kerajaan Singhasari
itu, Jayakatwang mendapat bantuan dari Arya Wiraraja, Adipati Sumenep yang
telah dijauhkan dari kraton oleh raja Kertanegara. Serangan Jayakatwang
dilancarkan pada tahun 1292. kitab Pararaton menceritakan bahwa tentara Kadiri
dibagi dua, menyerang dari dua arah, pasukan yang menyerang dari arah utara
ternyata hanya untuk menarik pasukan Singhasari dari arah kraton. Siasat itu
berhasil setelah pasukan Singhasari dibawah pimpinan Raden Wijaya (anak Lembu
Tal, cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) menyerbu ke utara,
maka pasukan Jayakatwang yang menyerang dari arah selatan menyerbu ke kraton,
dan dapat membunuh raja Kertanegara. Dengan gugurnya raja pada tahun 1929,
seluruh kerajaan Singhasari dikuasai oleh Jayakatwang. Raja Kertanegara
kemudian didharmakan di candi Singosari sebagai Bhairawa, candi Jawi sebagai
Siwa-Buddha, dan di Sagala sebagai Jina (Soekmono, 1985).
Sejarah Kerajaan
Singhasari dianggap sebagai salah satu proses perkembangan politik modern,
semangat pantang menyerah dapat dikembangkan menjadi jiwa integritas yang
tinggi bagi generasi penerus bangsa.
Majapahit
Setelah penguasa Singhasari terakhir (raja Kertanegara) gugur karena
serangan Jayakatwang, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri
Jayakatwang. Raden Wijaya yang juga menantu Raja Kertanegara kemudian berusaha
untuk merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang
dengan bantuan Adipati Wiraraja dari Madura, serta memanfaatkan kedatangan
tentara Khubilai Khan yang sebenarnya dikirim untuk menyerang Singhasari dalam
menyambut tantangan raja Kertanegara yang telah menganiaya utusannya Meng-Chi.
Demikianlah maka dengan kedatangan tentara Khubilai Khan tercapailah apa yang
dicita-citakan oleh Wijaya, yaitu runtuhnya Daha. Setelah Wijaya berhasil
mengusir tentara Mongol, maka dirinya dinobatkan menjadi raja Majapahit pada
tahun 1215 S (1293 M) dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Raja ini
kemudian meninggal pada tahun 1309 M serta dicandikan di Antahpura sebagai Jina
dan di Simping sebagai Siwa.
Sepeninggal Kertarajasa, putranya
Jayanagara dinobatkan menjadi raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya ia
dirongrong oleh serentetan pemberontakan. Dalam pemberontakan Kuti tahun 1319 M
muncul seorang tokoh yang kemudian akan memegang peranan penting dalam sejarah
Majapahit yaitu Gajah Mada. Dalam Pararaton diceritakan bahwa pada pada tahun
1328 M Raja Jayanagara meninggal dibunuh seorang tabib bernama Tanca.
Selanjutnya menurut Nagarakretagama (XLVIII:3) Raja Jayanagara dicandikan dalam
pura di Sila Petak dan Bubat sebagai Wisnu, serta di Sukhalila sebagai
Amoghasiddhi.
Raja Jayanagara tidak mempunyai
keturunan, maka sepeninggalnya pada tahun 1328 M, ia digantikan oleh adik
perempuannya yaitu Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan
gelar Tribuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani. Dari kakawin Nagarakretagama
(XLIX:3) diketahui bahwa dalam masa pemerintahannya telah terjadi pemberontakan
di Sadeng dan Keta pada tahun 1331 M. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh
Gajah Mada, setelah peristiwa Sadeng ini, kitab Pararaton menyebutkan sebuah
peristiwa yang kemudian menjadi amat terkenal dalam sejarah yaitu Sumpah Palapa
Gajah Mada. Pada tahun 1350 M Tribhuwana mengundurkan diri dari pemerintahan
dan digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk. Pada tahun 1372 M Tribhuwana meninggal
dan didharmakan di Panggih (Sumadio, 1994).
Pada tahun 1350 M, putra mahkota
Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara.
Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki
jabatan patih Hamangkubhumi. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah kerajaan
Majapahit mengalami puncak kebesarannya. Untuk menjalankan politik
Indonesianya, satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji
kekuasaan Majapahit ditundukkan dan dipersatukan oleh Hayam Wuruk. Akan tetapi
politik Indonesia itu berakhir sampai tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa
Bubat, yaitu perang antara orang Sunda dan Majapahit.
Dalam masa pemerintahannya, Hayam
Wuruk sering mengadakan perjalanan keliling daerah-daerah kekuasaannya yang
dilakukan secara berkala. Pada masa ini bidang kesusastraan sangat maju. Kitab
Nagarakretagama yang merupakan kitab sejarah tentang Singhasari dan Majapahit
berhasil dihimpun dalam tahun 1365 oleh Prapanca. Sedangkan pujangga Tantular
berhasil menggubah cerita Arjunawiwaha dan Sutasoma.
Selanjutnya dalam kitab Pararaton
(XXX:24) disebutkan bahwa pada tahun 1311 S (1389 M) Raja Hayam Wuruk
meninggal, namun tempat pendharmaannya tidak diketahui. Sepeninggal Hayam
Wuruk, tahta kerajaan Majapahit dipegang oleh Wikramawarddhana. Ia adalah
menantu dan keponakan Raja Hayam Wuruk yang dikawinkan dengan putrinya bernama
Kusumawarddhani. Wikramawarddhana mulai memerintah tahun 1389 M. Pada tahun
1400 M ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi seorang pendeta.
Wikramawarddhana kemudian mengangkat anaknya yang bernama Suhita untuk menggantikannya
menjadi raja Majapahit.
Diangkatnya Suhita di atas tahta
kerajaan Majapahit ternyata telah menimbulkan pangkal konflik di Majapahit,
yaitu timbulnya pertentangan keluarga antara Wikramawarddhana dan Bhre
Wirabhumi. Pada tahun 1404 M persengketaan itu makin memuncak, dan muncul huru
hara yang dikenal dengan nama Perang Paregreg. Dari Pararaton disebutkan bahwa
dalam Perang Paregreg akhirnya Bhre Wirabhumi berhasil dibunuh Bhre Narapati.
Walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal, peristiwa pertentangan keluarga itu
belum reda juga. Bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi
benih balas dendam dan persengketaan keluarga itu menjadi berlarut-larut.
Masa pemerintahan Suhita berakhir
dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1447 M. Ia didharmakan di Singhajaya.
Oleh karena Suhita tidak memiliki anak, maka tahta kerajaan diduduki oleh
adiknya yang bernama Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya dengan gelar Prabu Brawijaya
I. Ia tidak lama memerintah. Pada tahun 1451 M ia meninggal dan didharmakan di
Krtawijaya pura.
Dengan meninggalnya Kertawijaya,
Bhre Pamotan menggantikannya menjadi raja dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Ia
dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara atau Prabu Brawijaya II. Ia
memerintah hampir 3 tahun lamanya. Pada tahun 1453 M ia meninggal dan
didharmakan di Sepang. Menurut Pararaton sepeninggal Rajasawarddhana selama 3
tahun (1453-1456 M) Majapahit mengalami masa kekosongan tanpa raja (interregnum).
Baru pada tahun 1456 M tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menduduki
tahta dengan gelar Brawijaya III. Ia memerintah selama 10 tahun (1456-1466 M).
Pada tahun 1466 M ia meninggal dan didharmakan di Puri (Soekmono, 1985).
Sebagai penggantinya kemudian Bhre
Pandan Salas diangkat menjadi raja dengan gelar prabu Brawijaya IV. Setelah
Bhre Pandan Salas meninggal, kedudukannya sebagai raja Majapahit digantikan
oleh anaknya Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebelum menjadi raja Majapahit,
Ranawijaya berkedudukan sebagai Bhattara i Kling. Pada masa
pemerintahannya ia tidak berkedudukan di Majapahit, melainkan tetap di Kling
karena Majapahit di duduki Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V. Pada
tahun 1478 M Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Kertabhumi. Dalam
perang tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan Majapahit dari
tangan Bhre Kertabhumi, dan Kertabhumi gugur di Kadaton (Djafar, 2009).
Mengenai masa akhir kekuasaan
Majapahit dapat diketahui dari beberapa sumber sejarah yang ada. Serat Kanda
dan Pararaton mneyebutkan bahwa kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 S
(1478 M). Saat keruntuhannya itu disimpulkan dalam candra sengkala ”sirna-ilang-kertaning-bumi”, dan
disebutkan pula bahwa keruntuhannya itu dikarenakan serangan dari kerajaan
Islam Demak. Berdasarkan bukti sejarah ternyata bahwa pada saat itu kerajaan
Majapahit belum runtuh benar dan masih berdiri untuk beberapa waktu yang cukup
lama lagi. Rajanya bernama Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana. Bahkan
berita Cina dari dinasti Ming (1368-1643 M) masih menyebutkan adanya hubungan
diplomasi antara Majapahit dengan Cina pada tahun 1499 M.
Dari Babad Tanah Jawi dan Serat
Kanda diketahui bahwa antara 1518-1521 M di Majapahit telah terjadi suatu
pergeseran politik, yaitu kekuasaan Majapahit telah beralih dari tangan
penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) penguasa Islam
dari Demak. Demikian Majapahit telah ditaklukkan dan dikuasai Pati Unus dari
Demak (Graaf & Pigeaud, 1974). Penguasaan Majapahit oleh Dema itu dilakukan
oleh Adipati Unus, anak Raden Patah sebagai tindakan balasan Girindrawarddhana
Dyah Ranawijaya yang telah mengalahkan kakeknya yaitu Prabu Brawijaya V atau
Kertabhumi (Djafar, 2009).
PESAN
Kerajaan Majapahit dengan segala proses
dan polanya, diharapkan menjadi contoh bagi perkembangan sejarah Indonesia
modern. Nilai-nilai religius, semangat nasionalisme dan sikap tanggungjawab
sebagai warga negara diharapkan mampu dilestarikan dan dijadikan contoh bagi
generasi penerus bangsa.
Keteladanan terhadap tokoh-tokoh
pendiri bangsa sejak masa Hindu-Buddha di Indonesia patut kita jadikan
tauladan. Sisi positif bisa kita kembangkan sedangkan sisi negatif merupakan
proses menjadikan diri kita sebagai pribadi yang lebih profesional dalam
menyikapi berbagai masalah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
perkembangan dan jasa-jasa para pendiri bangsa.
CATATAN :
1) Penemuan sumber sejarah berupa prasasti
sampai saat ini menunjukkan bahwa 7 buah prasasti yūpa yang menginformasikan keberadaan sebuah kerajaan bernama Kutai
memuat angka tahun tertua yaitu abad ke IV M. Pertanggalan relatif ini didapat
dari perbandingan bentuk huruf yang dipahatkan dengan beberapa prasasti di
India dan menunjukkan keserupaan yang mendekati perkembangan huruf pallawa
sekitar akhir abad ke IV dan awal abad ke V (lihat Soemadio, 1993:31).
2) Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
secara geomorfologis pada awal masehi semenanjung malaya masih menyatu dengan
pulau Bangka dan Belitung, serta Sumatra masih belum sebesar sekarang sehingga
penempatan Palembang sebagai ibukota
dapat beralasan karena berada di mulut botol selat malaka sehingga sebagai
bandar dagang sangat strategis (Daldjoeni, 1984). Manguin secara arkeologis
kemudian dapat memperlihat bahwa ibukota ini telah berpindah dari Palembang ke
Jambi (Munoz, 2009)
3) Beberapa teori dikemukakan di antaranya
mengemukakan bahwa perpindahan itu karena terjadi perang saudara, namun ada
pula teori dari van Beumellen yang menyatakan bahwa perpindahan tersebut secara
geomorfologis diakibatkan sebuah bencana hebat letusan gunung merapi di Jawa
Tengah sehinggamenimbulkan mahapralaya.
4) Prasasti Palah 1119 S atau 1197 M terletak di
pelataran percandian Panataran di Blitar. Keberadaan candi ini ternyata
merupakan sebuah bangunan kontinuitas yang digunakan dari masa Kadiri hingga
Majapahit, dan mungkin merupakan candi kerajaan pada setiap masanya (Wahyudi,
2005).
5) Didharmakan atau dicandikan atau ridharma ring adalah usaha untuk
menghormati seorang raja yang telah mangkat dan dibuatkan candi atau kuil
pemujaan dengan menempatkan seorang dewa tertinggi sebagaimana dewa yang dipuja
oleh raja tersebut. Candi ini dibuat oleh para penerusnya setelah melaksanakan
upacara sraddha atau 12 tahun setelah kematiannya. Jadi candi bukan makan dari
seorang raja dan biasanya seorang raja dapat memiliki candi pendharmaannya.
Dirangkum dari :
MODUL PEMBINAAN KARIR GURU, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017
Komentar
Posting Komentar