ISLAM DAN JARINGAN PERDAGANGAN ANTARPULAU
KD. 3.7 menganalisis berbagai teori
tentang proses masuknya agama dan kebudayaan Islam ke Indonesia
Kedatangan Islam di Indonesia
Berbagai pendapat mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan
Indonesia (dikaitkan tentang waktu dan
tempat asalnya ) antara lain :
1. Teori Gujarat
Pendapat yang mengatakan bahwa
Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13
M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India
bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya sangat strategis, berada di
jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i
telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M). Menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab
langsung yang menyebarkan Islam ke Indonesia, melainkan para pedagang Gujarat
yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia Timur.
Pendukung pendapat J. Pijnapel
antara lain : C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta.
Menurut Snouck Hurgronye (Ahli Islam dari Belanda) berpendapat
bahwa pedagang Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India. Adapun
bukti yang dikemukakan antara lain :
a) Pedagang-pedagang
Indialah yang jauh sebelum Islam datang telah terbiasa menggunakan jalur laut
Indonesia untuk menuju Cina, sehingga ketika Islam masuk India dan pedagang
India menjadi Muslim maka Islam kemudian dibawa ke Indonesia;
b) Gujarat
adalah pelabuhan yang penting bagi kapal-kapal dagang atau jalur pelayaran dan
perdagangan yang ramai di singgahi oleh para pedagang;
c) Corak
hiasan dan bentuk nisan makam orang Islam di Indonesia sejenis dengan yang ada
di Gujarat, sehingga di mungkinkan didatangkan dari Gujarat ( batu nisan Sultan Malik Al-Saleh
yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh dan makam
Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki
bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat )
d)
Terdapat
kesesuaian beberapa adat-istiadat antara Indonesia dan India
2. Teori Persia
Hoesein Djajadiningrat mengatakan
bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia (Iran sekarang).
Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara
masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan
10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin
Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
3. Teori Arab
Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim
Amrullah) mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab
atau Mesir. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. HAMKA juga berpendapat bahwa pedagang dari
Arab yang berperanan mengislamkan Indonesia. Alasannya antara lain:
a) Hubungan dagang melalui laut antara daerah Timur Tengah dengan Cina sudah
berkembang sejak abad ke-7 M
b) Sudah terdapatnya pemukiman orang-orang Arab di Malabar India yang
berasal dari Omat dan Hendramaut; dan
c) Sejak zaman Sriwijaya sudah terdapat pedagang Islam yang berasal dari
Arab yang bermukim di Sumatera Selatan.
Anthony
H. Johns sependapat dengan Hamka bahwa Islam yang masuk di Indonesia berasal
dari Arab, namun menurut Anthony H. Johns bahwa proses Islamisasi dilakukan
oleh para musafir (kaum pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum
ini biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi
hanya pengembangan agama Islam.
Sedangkan Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa tidak
hanya dari kelompok pedagang yang menyebarkan Islam, tetapi juga dari kelompok
Mubaligh. Mubaligh inilah yang dengan ilmunya membentuk kader-kader dai melalui
berbagi cara, salah satu yang menonjol adalah melalui pendidikan dengan
mendirikan pesantren. Kelompok lain adalah para Sufi yang menyebarkan tarekat
di Indonesia. Satu hal yang perlu di catat bahwa bangsa Indonesia sendiri
merupakan penyebar agama Islam, Karena sebenarnya dalam proses perkembangan
Islam bangsa Indonesia tidak pasif, tetapi juga aktif. Diantara contoh adalah Pengislaman
Kerajaan Banjar yang dilakukan oleh penghulu dari kerajaan Demak. Demikian juga
dengan pengislaman Hitu dan Ternate yang dilakukan oleh santri dari Pesantren Giri
( Sunan Giri ).
Jaringan
Perdagangan Antarpulau
Sejak lama laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan
perdagangan antarsuku bangsa di Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia.
Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang
dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Sejak dulu mereka sudah
mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran
dan perdagangan. Kapal pedagang yang
berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam Januari atau Pebruari dan
kembali lagi pulang jika angin bertiup dari selatan dalam Juni, Juli, atau
Agustus. Angin musim barat daya di Samudra Hindia adalah antara April sampai
Agustus, cara yang paling diandalkan untuk berlayar ke timur. Mereka dapat kembali
pada musim yang sama setelah tinggal sebentar—tapi kebanyakan tinggal untuk
berdagang—untuk menghindari musim perubahan yang rawan badai dalam Oktober dan
kembali dengan musim timur laut.
Kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai
sejak abad pertama Masehi. Jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan
Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina. Berdasarkan berita-berita
Cina menunjukkan telah adanya jaringan–jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan
di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina. Adanya
jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan
pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota
bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka,
Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten,
Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Beberapa berita tentang perkembangan Islam di Nusantara antara
lain :
1. Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam
atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan
berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15.
2. Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas komunitas Muslim
di pesisir utara Jawa bagian timur.
3. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan
perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu
lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal,
Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome
Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden,
Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul,
Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos,
Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor,
Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra,
Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva. Tome Pires melukiskan tentang Ternate, Ambon
dan Banda sebagai ‘the spices island’
Hubungan pelayaran dan
perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung
dan dalam intensitas tinggi. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar
sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka
perjalanan ke Cina. Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab
dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul
suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri
dari Pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.
Perkembangan Islam semakin bertambah ketika ditaklukkannya
Malaka oleh Portugis pada 1511, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur
alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat
Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh,
Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya.
BERBEDA MENJADI SATU
Wilayah Nusantara
menyimpan berbagai kekayaan di darat dan di laut. Sumber daya alam ini sejak
dulu telah dimanfaatkan untuk keperluan sendiri dan diperdagangkan antarpulau
atau antarnegara. Barang dagangan utama yang mendapat prioritas dalam
perdagangan antarpulau, yaitu
1.
lada, emas, kapur barus,
kemenyan, sutera, damar madu, bawang putih, rotan, besi, katun (Sumatera);
2.
beras, gula, kayu jati (Jawa);
3.
emas, intan, kayu-kayuan
(Kalimantan);
4.
kayu cendana, kapur barus,
beras, ternak, belerang (Nusa Tenggara);
5.
emas, kelapa (Sulawesi); dan
6.
perak, sagu, pala, cengkih,
burung cenderawasih, perahu Kei (Maluku dan Papua).
Di antara sekian
banyak barang komoditas tersebut, rempah-rempah menjadi primadona yang dibutuhkan
para pedagang domestik maupun mancanegara. Daerah penghasil rempah-rempah utama
di Nusantara ialah Ternate dan Tidore. Tome Pires dalam Suma Oriental melukiskan tentang Ternate, Ambon
dan Banda sebagai ‘the spices island” Mengapa ?
a) Maluku ( Ternate dan Tidore ) merupakan
penghasil rempah-rempah antara lain Cengkih, lada, dan bunga pala (fuli) yang menjadi primadona perdagangan internasional saat itu. Cengkih
yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium
aromaticum atau caryophullus
aromaticus) yang
dikeringkan. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil
Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru
berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram. Dari
Ternate dan Tidore (Maluku) barang komoditas tersebut dibawa ke Somba Opu, ibu kota
Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin
hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku.
b) Ambon ( Hitu ) adalah pelabuhan yang menampung komoditas
cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat),
c) Banda merupakan pusat komoditas pala.
Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang
Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak
kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti
Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Semakin meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan
internasional, membuat pedagangNusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok
utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat. sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa
harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut
Tengah.
Dalam
proses perdagangan itulah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat.
Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk
komunitas. Muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah misalnya,di Jakarta
terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung-kampung lainnya yang berasal
dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung
Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali. Jaringan perdagangan
kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat proses
terbentuknya nasionalisme Indonesia.Dirangkum dari berbagai sumber.
Komentar
Posting Komentar