Kompetensi Dasar :
Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di
Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan.
Indikator :
1. Menganalisis perkembangan pemerintahan Indonesia
pada masa demokrasi liberal.
2. Menganalisis terjadinya kegagalan
penyusunan UUD yang baru
Perkembangan pemerintahan Indonesia
pada masa demokrasi liberal.
Ciri – ciri
sistem demokrasi liberal di Indonesia
Pelaksanaan demokrasi
liberal pada hakekatnya adalah sesuatu yang wajar sebab sesuai dengan
konstitusi yang berlaku pada saat itu yaitu Undang – Undang Dasar Sementara
1950 yang memang bernafaskan semangat liberal. Demokrasi liberal pada dasarnya merupakan sistem
politik pemerintahan yang didasarkan pada asas liberal yang ditandai dengan
besarnya peran partai – partai politik. Sistim pemerintahan pada dasarnya membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan
serta hubungan lembaga – lembaga negara yang menjalankan kekuasaan – kekuasaan
negara itu dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat, namun kenyataannya
hal ini tidak terjadi pada masa pelaksanaan demokrasi liberal.
Konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi liberal
maka bangsa Indonesia pada tahun 1950 – 1959 menganut sistem parlementer. Dalam
sistem parlementer hubungan antara
eksekutif ( kabinet ) dan legislatif ( parlemen ) sangat erat, karena kabinet
bertanggung jawab kepada parlemen. Masa demokrasi liberal merupakan masa kiprahnya partai – partai politik
pada pemerintahan Indonesia. Dua partai terkuat PNI dan Mayumi silih berganti
memimpin kabinet.
Setiap
kabinet jika ingin bertahan harus mampu memperoleh dukungan suara terbanyak di
parlemen demikian juga kebijaksanaan pemerintah tidak boleh menyimpang dari apa
yang dikehendaki parlemen.
Ciri – ciri sistem kabinet parlementer ( Kabinet Minsiteril ) adalah :
- Adanya sistem multi partai .
- Adanya pemisahan kekuasaan antara Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan.
- Presiden adalah Kepala Negara. Kepala Negara tidak bertenggung jawab atas segala kebijaksanaan yang diambil kabinet.
- Kepala pemerintahan ( Kabinet ) adalah seorang Perdana Menteri
- Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Kabinet harus meletakkan mandatnya kepada Kepala Negara jika parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri
- Dalam parlemen terdapat dua kelompok partai yaitu partai pemerintah (partai penguasa) dan partai oposisi ( partai yang tidak memiliki wakil di pemerintahan/kabinet ).
- Bila terjadi perselisihan antara kabinet dan parlemen dan Kepala Negara beranggapan kabinet berada dipihak yang benar maka Kepala Negara dapat membubarkan parlemen, serta secepatnya dilaksanakan pemilu untuk membentuk parlemen yang baru.
Masa Demokrasi Liberal
Demokrasi Liberal adalah demokrasi yang memberi
kebebasan yang seluasnya kepada warga negara. Indonesia menganut sistem Demokrasi
Liberal pada tahun 1950-1959. Pada masa ini ditandai dengan sering terjadi pergantian
kabinet yang memerintah.
Kabinet yang pernah memerintah
pada masa demokrasi liberal antara lain :
1.
Kabinet Natsir ( 6 September 1950-21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh
partai Masyumi, yang dipimpin oleh Moh. Natsir.
Program :
1. Menggiatkan usaha
keamanan dan ketentraman.
2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan
susunan pemerintahan.
3. Menyempurnakan
organisasi Angkatan Perang.
4. Mengembangkan dan
memperkuat ekonomi rakyat.
5. Memperjuangkan
penyelesaian masalah Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
- Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
- Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Sebab jatuhnya
:
Adanya mosi tidak percaya dari PNI
menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS, yang menganggap peraturan pemerintah No. 39 th
1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui
parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
2. Kabinet
Sukiman ( 27 April 1951-3 April
1952)
Merupakan kabinet koalisi
antara Masyumi dan PNI, yang dipimpin oleh Sukiman Wiryosanjoyo
Program
:
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan
memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara
bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1. Adanya Pertukaran Nota Keuangan
antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat
Merle Cochran.
2. Adanya krisis moral yang ditandai dengan
munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran
akan barang-barang mewah
Sebab jatuhnya :
Munculnya pertentangan dari Masyumi dan PNI atas
tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR
akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya
kepada presiden.
3. Kabinet Wilopo ( 3 April 1952-3 Juni 1953)
Merupakan zaken kabinet yaitu
kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya, yang dipimpin oleh Mr. Wilopo
Program
:
1. Menyelenggarakan pemilihan umum
(konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan
pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2. Penyelesaian masalah hubungan
Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta
menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang
disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara
kebutuhan impor terus meningkat.
2. Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952,
gerakan sejumlah perwira angkatan
darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
3. Munculnya peristiwa Tanjung Morawa,
peristiwa bentrokan antara aparat
kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli).
Sebab jatuhnya :
Akibat peristiwa Tanjung
Morawa, muncullah mosi tidak
percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo, sehingga harus mengembalikan mandatnya pada
presiden.
4. Kabinet Ali – Wongso ( 31 Juli 1953-12 Agustus 1955)
Merupakan koalisi antara PNI dan NU, yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo
Program :
1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera
menyelenggarakan Pemilu.
2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3. Pelaksanaan
politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4. Penyelesaian
Pertikaian politik
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
a. Terjadi
peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut
dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17
Oktober 1952.
b. Keadaan
ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan
gejala membahayakan.
c. Munculnya konflik antara PNI dan NU yang
menyebabkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal
20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Sebab
jatuhnya :
Nu menarik dukungan dan menterinya dari
kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus
mengembalikan mandatnya pada presiden.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap ( 12 Agustus
1955- 3 Maret 1956)
Dipimpin oleh Burhanuddin Harahap dari
Masyumi.
Hasil :
1. Penyelenggaraan pemilu pertama yang
demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955
(memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya
27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang
memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
2. Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah
Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
3. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat
dengan Kabinet Burhanuddin.
4. Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni
1955 dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28
Oktober 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
Banyaknya mutasi
dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Sebab jatuhnya
:
Berakhirnya kekuasaan kabinet ditandai dengan berakhirnya pemilu. Pemilu tidak
menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh.
Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru
pula.
6. Kabinet Ali Satroamidjojo II ( 20 Maret- 4 Maret 1957)
Merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI,
Masyumi, dan NU, yang dipimpin
oleh Ali Sastroamijoyo
Program
:
1.
Perjuangan
pengembalian Irian Barat
2.
Pembatalan
KMB,
3.
Pemulihan
keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar
negeri bebas aktif,
4.
Melaksanakan
keputusan KAA.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1.
Memuncaknya
krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan
pembangunan di daerahnya.
2.
Pembatalan
KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal
pengusaha Belanda di Indonesia.
3.
Timbulnya
perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo
menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa
mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Sebab
jatuhnya :
Berakhirnya kekuasaan kabinet,
ditandai mundurnya sejumlah menteri
dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya
pada presiden.
7. Kabinet Djuanda / Kabinet Karya (9 April
1957 – 5 Juli 1959)
Merupakan zaken kabinet yaitu
kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya, yang dipimpin oleh Ir. Juanda
Program
:
1. Membentuk Dewan Nasional
2. Normalisasi keadaan Republik Indonesia
3. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
4. Perjuangan pengembalian Irian Jaya
5. Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1. Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah
sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan
pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti
PRRI/Permesta.
2. Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat
sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30
November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena
mengancam kesatuan negara.
Sebab jatuhnya
:
Berakhirnya kekuasaan kabinet, pada saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi
Terpimpin.
PEMILU
Salah satu persoalan di dalam negeri yang
harus diselesaikan adalah persiapan pemilihan umum yang direncanakan akan
diadakan pada pertengahan tahun 1955.Pemilihan Umum adalah salah satu prasyarat
agar sistem pemerintahan yang demokratis berfungsi. Pemilihan tercantum sebagai
salah satu program dari kabinet parlementer RI.
Pemilu tahun
1955 ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah
kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante
berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas
yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini
dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun,
Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Pemilihan Umum I
berlangsung pada Masa Kabinet
Burhanuddin Harahap. Pemilihan berlangsung II tahap yaitu :
1. Tahap I untuk memilih Anggota Parlemen, diselenggarakan pada
tanggal 29 september 1955. Lebih dari 39 juta
rakyat Indonesia
memberikan suaranya di kotak-kotak suara. Hasil Pemilihan Umum I dimenangkan 4
partai, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Partai-partai lain menerima suara
lebih kecil dari ke empat partai tersebut.
2. Tahap II untuk memilih Anggota
Dewan Konstituante, tanggal 15 Desember 1955
Dewan Konstituante adalah
suatu badan yang dibentuk dengan tugas menyusun UUD yang baru. Anggota Dewan
Konstituante.
Kondisi kehidupan politik pada masa demokrasi liberal
UUD 1950 atau
UUDS mengamanatkan Negara menganut sistem demokrasi liberal dengan sistem
pemerintahannya Kabinet Ministeril. Salah satu ciri dari pelaksanaan sistem
demokrasi liberal adalah kekuasaan yang besar dimiliki oleh parlemen artinya
parlemen memiliki kekuasaan untuk membubarkan kabinet.
Dalam
parlemen terjadi persaingan yang besar antara satu partai politik dengan partai
politik lainnya. Setiap partai politik berusaha memperjuangkan kepentingan
partainya sendiri – sendiri dan mengabaikan upaya untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat. Kekuasaan menjadi tujuan perjuangan setiap partai akibatnya
partai yang berkuasa ( memimpin kabinet) akan mendapat pengawasan ekstra ketat
dan partai oposisi berusaha mencari kesalahan – kesalahan kabinet ( pemerintah
). Kondisi seperti ini menyebabkan selama pelaksanaan system demokrasi liberal
( 1950 – 1959 ) terjadi 7 kali pergantian kabinet.
Dapat
disimpulkan pada masa demokrasi liberal kondisi politik bangsa Indonesia
menggalami ketidakstabilan ( kekacauan ). Ketidakstabilan politik ini
disebabkan karena :
a.
Parlemen ( DPR ) tidak mampu menjalankan tugasnya untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang terjadi hanyalah pertarungan antar
partai politik untuk mendapatkan kekuasaan ( berkuasa memimpin pemerintahan
/Kabinet ).
b.
Sering terjadi pergantian kabinet. Dalam kurun waktu
kurang lebih 9 tahunan telah terjadi 7 kali pergantian kabinet ( pemerintahan
), ini berarti umur kabinet rata – rata 15 bulan. Akibatnya kehidupan politik
menjadi tidak stabil.
c. Konstituante sebagai badan yang dipilih
oleh rakyat dengan tugas membentuk UUD yang baru ternyata juga mengalami
kegagalan. Hal ini desebabkan karena dalam badan tersebut hanya diisi dengan
perdebatan antar partai politik dengan ideologi yang berbeda – beda ( agama,
nasionalis dan komunis ) masing – masing partai ingin menonjolkan paham /
ideologi partainya sendiri - sendiri.
Dewan Konstituante
Dewan Kontituante bertugas untuk
menyusun UUD yang baru sebagai pengganti UUD 1950 yang bersifat sementara.
Setelah dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota Konstituante tanggal 15
Desember 1955, maka mulai tanggal 20 November 1956 Konstituante mulai bersidang
dengan pidato pembukaan dari Presiden RI Ir. Soekarno untuk menyusun dan
menetapkan UUD RI tanpa adanya pembatasan masa kerja. Namun dalam masa persidangan
yang terjadi dalam Dewan Konstituante hanyalah diisi dengan perdebatan yang
tiada habisnya terutama dalam rangka menentukan dasar negara RI. Masing- masing
kelompok berupaya untu menonjolkan ideologinya agar dapat menjadi ideolog
bangsa.
Usaha untuk mengatasi
ketidakstabilan politik dalam tubuh Dewan Konstituante tersebut pada bulan
Pebruari 1957 Presiden Soekarno mengajukan sebuah gagasan politik (Konsepsi
Presiden) yang berisi :
·
Sistim demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa dan menawarkan perubahan ke arah sistim demokrasi terpimpin
·
Perlu dibentuk Kabinet Gotong Royong yang menampung semua
golongan
·
Pembentukan Dewan Nasional yang bertugas memberi nasehat
kepada kabinet.
Pada tanggal 22 April 1959
kembali presiden menyampaikan anjuran untuk kembali ke UUD 1945 menjadi
konstitusi negara RI. Pada tanggal 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara
terhadap usul pemerintah (kembali kepada UUD 1945 ) hasilnya 269 setuju dan 199
menolak sedang yang hadir 474 orang anggota, artinya hasil tersebut belum
memenuhi quorum 2/3 seperti yang dipersyaratkan oleh UUDS 1950 pasal 37. Sesuai
dengan tata tertib Konstituante, maka diadakan pemungutan suara dua kali lagi,
hasilnya sama tidak memenuhi quorum yang dipersyaratkan karena banyak anggota yang tidak hadir. Keadaan politik semakin
tidak menentu dengan semakin banyak anggota konstituante yang tidak datang
kepersidangan. Tanggal 3 Juni 1959 Konstituante memasuki masa reses walaupun
belum mengeluarkan kesepakatan tentang pembahasan pemutusan suara tentang UUD
1945 tersebut. Pada hari itu juga Presiden sebagai Penguasa Perang Pusat
mengeluarkan peraturan No. PRT/PEPERPU/040/1959 tentang pelarangan adanya
kegiatan politik, keluarnya peraturan ini didukung oleh berbagai elemen
masyarakat, partai politik dan TNI. Untuk mengakhiri ketidakstabilan politik
pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah pengumuman yang
dikenal dengan Dekrit Presiden
Latar belakang keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1959
Dalam waktu – waktu yang kritis ketika
Konstituante tidak mampu menjalankan tugasnya, keadaan ketatanegaraan dianggap
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan adanya pemberontakan yang
ditumpangi intervensi tertutup kekuatan asing. Presiden Soekarno dan TNI muncul
sebagai kekuatan politik yang diharapkan dapat mengatasi masalah nasional
tersebut.
Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945
dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa – peristiwa politik yang
mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno
untuk sampai kepada kesimpulan bahwa :
‘keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
kesatuan Negara, Nusa dan Bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk
mencapai masyarakat yang adil dan makmur”.
Demi keselamatan Negara dan berdasarkan hukum keadaan
bahaya bagi Negara pada hari Minggu, 5 Juli 1959 jam 17.00 bertempat di Istana
Merdeka dalam upacara resmi Presiden Soekarno mengumumkan sebuah Dekrit
Presiden.
Dekrit ini berisi :
a.
Pembubaran Konstituante
b.
Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS
1950
c.
Segera dibentuk MPRS dan DPAS
Dekrit 5 Juli tidak saja mendapat
sambutan baik dari masyarkat yang hamper selama 10 tahun dalam kegoncangan
Jaman Liberal telah mendambakan stabilitas politik, melainkan juga dibenarkan
dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekrit ini juga didukung oleh jajaran TNI.
membantu sekali......
BalasHapusterima kasih....